Dilema Kebijakan Kenaikan Cukai Rokok
: Antara Barang yang Dibenci dan Dirindukan
OLEH : Nur
Arsyi Himmatul Ulya
Polemik cukai
rokok belakangan ini kembali akan mengalami kenaikan pada awal bulan januari
2020. Dimana pemerintah bakal resmi menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 23
persen dan harga jual eceran rokok rata-rata 35 persen. Dimana negara Indonesia
mengikuti para negara yang merupakan anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD) yang justru peningkatan cukai dan harga jual rokok melambung
jauh mencapai 50 persen. Kenaikan cukai tersebut ditujukan untuk menambah
pendapatan negara. Pemerintah merasa perlu melakukan langkah drastis ini karena
jumlah prevalensi perokok yang meningkat. Berdasarkan data yang disampaikan
oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani anak-anak dan remaja naik dari 7% menjadi 9%.
Perempuan juga naik, dari 2,5% menjadi 4,8%. Karena itu, pengendalian rokok
melalui cukai menjadi penting dimana produk tembakau itu erat kaitannya dengan
penyakit, termasuk kanker.
Kenaikan
tarif cukai rokok yang tinggi juga dijalankan untuk membasmi peredaran rokok
ilegal tanpa cukai sehingga dengan tindakan ini dapat meningkatkan pendapatan
negara. Hal tersebut harus diikuti oleh kebijakan intensifikasi dan
ekstensifikasi obyek yang terkena cukai. Sejauh ini, hanya ada tiga barang yang
terkena cukai, yakni tembakau, minuman beralkohol, dan etil alkohol. Cakupan
dari perolehan cukai tembakau mencapai 95 persen di antara ketiganya. Opsi
lainnya yaitu intensifikasi dengan sifat rokok yang adiktif dan inelastis
terhadap harga, caranya melakukan penerimaan cukai yaitu melalui tarif cukai.
Sesuai dengan ketentuan, cukai tembakau hanya boleh dipungut maksimal 57 prsen dari
harga jual. Hal ini berpengaruh tarif yang akan selalu naik demi mengejar
target penerimaan (batas maksimum).
Penetapan
kenaikan tarif cukai rokok yang baru itu akan segera tertuang dalam Peraturan
Menteri Keuangan. Harapannya, penerimaan cukai atas tembakau bisa mencapai Rp
171,9 triliun. Angka penerimaannya naik 8,2% dibandingkan tahun ini yang
mencapai Rp 158,9 triliun. Sebagai informasi, hingga semester pertama tahun
ini, pendapatan bea cukai sudah mencapai Rp 87,6 triliun. Dari jumlah itu, hampir
75% berasal dari cukai tembakau.
Mendengar
keputusan pemerintah, pihak Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia
(GAPPRI) menilai kenaikan cukai akan menekan industri penghasil tembakau dan
menambah peluang laju rokok ilegal semakin berkeliaran serta nasib petani
tembakau dan tenaga kerja di industri pun terancam. Ketua Umum GAPPRI, Henry
Najoan mengatakan bahwa kenaikan cukai di kisaran 10 persen masih sangat wajar
dan bisa diterima, namun beda halnya dengan kenaikan cukai yang mencapai hingga
23 persen di tahun mendatang. Dia pun menganggap bahwa pemerintah membedakan
perlakuan antara industri rokok konvensional dengan elektrik.
Probabilitas
terjadinya migrasi dari rokok konvensional ke rokok elektrik semakin terbuka.
Konsekuensinya, ada kemungkinan penerimaan negara menyusut. Kenaikan perolehan
cukai dari rokok elektrik tidak sepadan dengan penurunan penerimaan cukai dari
rokok konvensional. Lagi-lagi, kepentingan fiskal kurang sinkron dengan
eksistensi industri tembakau sebagai "basis" penerimaan cukai.
Direktur
Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, Heru Pambudi memastikan kenaikan
tarif cukai rokok sebesar 23% pada 2020 akan melindungi industri hasil tembakau
yang berbasis padat karya dan melibatkan banyak pekerja. Untuk melindungi
industri padat karya tersebut maka kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran
rata-rata sigaret kretek tangan (SKT) akan lebih rendah daripada sigaret kretek
mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). "Padat karya yang lebih utama
karena menyangkut ratusan ribu tenaga kerja dan turunannya," kata Heru.
Soal potensi akan masuknya rokok ilegal, Heru memastikan hal itu tidak terjadi.
"Kalau bicara mitigasi dari rokok ilegal, kami bekerja sama dengan aparat
penegak hukum, agar yang ilegal ini tidak naik," ujarnya.
Pengaruh
kenaikan cukai rokok berdampak pada saham dua produsen rokok terbesar di
Indonesia, HM Sampoerna dan PT Gudang Garam Tbk yang langsung turun drastis
menjadi 18,21% atau level Rp. 2.290 per lembar saham sedangkan saham Gudang
Garam melemah juga menjadi level Rp. 54.600 per lembar. Kinerja keduanya masih
tergolong kinerja positif pada semester pertama tahun 2019.
Faktanya,
penerimaan cukai dimasukkan ke postur APBN menjadi satu pos besar, yaitu
penerimaan negara. Akibatnya, perolehan cukai, layaknya pajak, dapat digunakan
untuk membiayai belanja pemerintah. Namun cukai pada prinsipnya alokasi
belanjanya harus dikembalikan pada hal-hal yang berkaitan erat dengan barang
terkena cukai. Karenanya, pelaku ekonomi yang terpapar dampak negatif rokok
bisa mengklaim penerimaan cukai yang terhimpun. Padahal selama dua tahun
terakhir dana dari cukai digunakan untuk menutup defisit Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan.
Pada
akhirnya, pungutan cukai rokok harus dikembalikan ke fungsi utamanya yakni
untuk meningkatkan pendapatan negara . Direktorat Jenderal Bea Cukai memiliki
capaian untuk melindungi para konsumen dari risiko rokok. Pandangan cukai rokok
sebagai sumber kas negara, tidak menyeimbangi tugasnya untuk mengendalikan
konsumen. Seolah-olah rokok seperti barang yang dibenci (efek) namun dirindukan
pula (cukai rokoknya).
REFERENSI :
https://katadata.co.id/telaah/2019/09/17/efek-berantai-tingginya-kenaikan-cukai-rokok
https://ekonomi.bisnis.com/read/20191023/259/1162399/tarif-baru-cukai-rokok-cht-mulai-berlaku-awal-tahun-depan
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4081993/kenaikan-cukai-ancam-keberlangsungan-industri-rokok
https://money.kompas.com/read/2019/09/10/172443126/kebijakan-cukai-rokok-berdampak-ke-jutaan-orang-dan-penerimaan-negara
https://kolom.tempo.co/read/1254272/dilema-ekonomi-cukai-rokok
0 Comments:
Post a Comment
Write your comment here :)